Tampilkan postingan dengan label Tanya Jawab. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tanya Jawab. Tampilkan semua postingan

HUKUM PERINGATAN ISRA' MI'RAJ DAN YASINAN

Eko Yuni Priswanto, ekopris@plasa.com.
Pertanyaan:

1. Apakah memperingati Isra’ Mi’raj termasuk bid’ah walaupun dikemas dalam bentuk pengajian?
2. Apakah mengadakan kegiatan Yasinan atau membaca Yasin bersama­sama tiap malam Jum’at dibolehkan?

Jawaban:

1. Mengenai masalah bid’ah ini pernah dijelaskan dan dimuat dalam majalah SuaraMuhammadiyah No. 11 Th. ke­87 Juni 2002, No. 11 Th. ke­88 Juni 2003, dan No. 22 Th. ke­88 November 2003, namun akan kami tambah penjelasannya sebagai berikut.

Bid’ah ialah sesuatu perbuatan atau perkataan yang dipandang sebagai ‘umurut­ ta’abbudiy yang baru dan tidak pernah diperintahkan dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw semasa hidupnya. Dengan kata lain bahwa bid’ah adalah perbuatan yang ada konotasinya dengan ‘umurut­ta’abbudiy, tidak ada konotasinya dengan ‘umuru ghairut ta’abbudiy. Semua ‘umurut­ta’abbudiy di dasarkan kepada nash­-nash yang shahih dan maqbul, dijelaskan macam­-macamnya dan cara-­cara mengerjakannya. Seperti ibadah shalat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya. Sebagai contoh adalah sabda Nabi Muhammad saw:

Artinya: “Dari Malik bin Huwairits (diriwayatkan bahwa) Nabi Muhammad  saw bersabda: Shalatlah kamu sebagaimana engkau melihatku shalat.” (HR. al­ -Bukhari)

Berdasarkan perintah itu, kita pelajari dan cari pada nash­nash yang shahih dan maqbul bagaimana tata­cara mengerjakan shalat, waktu­waktunya, apa yang dibaca pada setiap gerakannya, macam­macamnya baik yang wajib maupun yang  sunat, dan sebagainya.

Demikian pula halnya dengan ibadah puasa, zakat, haji, dan sebagainya, kita wajib mengikuti tata­caranya, waktu­waktunya, dan aturan­aturan yang lainnya, sebagaimana yang telah dituntunkan oleh Nabi Muhammad saw. Bagi orang yang menetapkan cara­cara melakukan, waktu­-waktu mengerjakan, bacaan­bacaan yang dibaca dalam mengerjakan ‘umurut­ta’abbudiy, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya, dan mengatakan bahwa itu adalah perintah Allah dan Rasul­Nya, padahal tidak ada dasarnya atau dasarnya diragukan kebenarannya, berarti ia telah berdusta terhadap Nabi Muhammad saw dan kaum muslimin. Orang­orang yang mengada­adakan sesuatu tentang Nabi saw padahal tidak ada dasarnya berarti ia telah menyediakan tempat duduknya di neraka nanti. Hal ini berdasarkan pada hadits:

Artinya: “Dari Ali r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Nabi Muhammad saw bersabda: jangan kamu berdusta atas (nama)ku, barangsiapa yang berdusta atas nama(ku), tentulah ia masuk ke dalam neraka.” (Muttafaq Alaih)

Dan hadits:

Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata, dari Nabi saw beliau bersabda: Barangsiapa yang mengada­adakan kedustaan atasku, maka berarti telah menyediakan tempat duduknya dalam neraka.” (Muttafaq Alaih)

Yang dimaksud dengan kalimat man kadzdzaba ‘alaiyya ialah seseorang yang mengatakan sesuatu adalah ‘umurut­ta’abbudiy dan berasal atau berdasarkan perkataan, perbuatan, atau taqrir Nabi saw, padahal yang sebenarnya Rasulullah saw tidak pernah mengatakan, melakukan, atau tidak ada taqrir beliau. Urusan seperti ini adalah semacam bid’ah dan diancam oleh Rasulullah saw dengan adzab neraka, karena mereka telah berdusta kepada Allah dan Rasul­Nya serta kaum muslimin.

Akan lebih besar lagi dosanya, jika kedustaan mereka diamalkan oleh kaum muslimin yang tidak tahu sama sekali tentang hal tersebut. Adapun mengenai ‘umuru ghairut­ta’abbudiy, boleh dilakukan sekalipun Nabi saw tidak pernah mengerjakannya, dengan syarat tidak bertentangan dengan prinsip­-prinsip ajaran Islam.

Sehubungan dengan hal kegiatan Isra’ dan Mi’raj, ialah termasuk kegiatan yang dilakukan umat Islam setelah Rasulullah saw meninggal dunia, dengan arti bahwa pada zaman Rasulullah saw belum ada kegiatan tersebut. Peringatan itu dilakukan oleh kaum muslimin, di samping untuk mensyiarkan agama Islam juga untuk memperingati turunnya kepada Rasulullah perintah melakukan shalat wajib lima waktu. Dengan peringatan itu diharapkan dapat memperkuat tekad umat Islam untuk tetap mengerjakan shalat lima waktu dengan sebaik­baiknya. Kegiatan ini termasuk ‘umuru ghairut­ta’abbudiy, bukan ibadah yang langsung ditujukan kepada Allah SWT, karena itu boleh dilakukan. Bahkan dipandang sebagai sebagai suatu ibadah kepada Allah SWT, jika kegiatan itu menambah syiar agama Islam dan tidak bertentangan dengan prinsip­prinsip agama Islam.

2. Kami belum menemukan nash-­nash yang shahih dan maqbul yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum tentang membaca Yasin bersama­sama yang diadakan pada malam Jum’at, demikian pula dasar bahwa hal itu pernah diperintahkan Allah atau pernah diperintahkan Rasulullah mengerjakannya atau beliau sendiri pernah mengerjakannya. Juga belum ditemukan dasar bahwa di antara sahabat sendiri pernah melakukannya dan Rasulullah mengetahui perbuatan sahabat itu. Yang ada ialah perintah Allah SWT agar kaum muslimin membaca al­Qur’an dan bagi yang mendengarkan bacaan itu diperintahkan Allah SWT agar mendengarkan bacaan itu dengan baik dan berdiam diri. Tidak ditentukan surat dan ayat yang lebih baik dibaca, kapan harus dibaca, dan tidak ditentukan pula hari dan jamnya. Allah SWT berfirman:

Artinya: “Dan apabila dibacakan al­Qur'an, maka dengarkanlah baik­baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. al­A’raf, 7: 204)

Pada ayat yang lain Allah SWT menerangkan cara membaca al­Qur’an dan kapan saat­saat yang terbaik membacanya. Allah SWT berfirman:

Artinya: “Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Qur'an itu dengan perlahan­lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak).” (QS. al­ Muzzammil, 73: 1­7)

Dari ayat di atas, dapat difahami beberapa hal sebagai berikut:

a. Membaca al­Qur’an yang paling baik itu setelah lewat tengah malam, karena pada waktu itu keadaan telah sepi, orang sedang tidur nyenyak, sehingga dapat membacanya dengan khusyu’. Ayat­ayat di atas tidak menentukan ayat mana yang paling baik dibaca.

b. Hendaklah membaca al­-Qur’an dengan tartil, maksudnya ialah membaca dengan perlahan-­lahan, diusahakan dengan bacaan lafadz yang benar dan fasih sesuai dengan kemampuan si pembaca, diresapkan arti ayat­ayat yang dibaca, dan berjanji akan melaksanakan yang diperintah dan menghentikan yang dilarang oleh ayat­ayat tersebut. Tentu saja hal ini dilakukan sesuai dengan kemampuan dan tingkat pengetahuan si pembaca. Dalam pada itu si pembaca pun harus berusaha meningkatkan kemampuan membaca dan memahami bacaannya. Dari kata tartil ini juga dapat difahami bahwa tidak baik membaca al­Qur’an dengan cepat asal cepat tamat (khatam) tanpa ada usaha untuk memahami isinya. Hal ini dapat juga difahami dari hadits berikut:

Artinya: “Dari Abu Wa’il (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Seseorang telah datang kepada ibnu Mas’ud lalu berkata: Tadi malam aku telah membaca surat­-surat pendek (al­mufashshal) dalam satu rakaat. Ibnu Mas’ud berkata: (Bacaan) ini (cepat) seolah­-olah (membaca al­Qur’an) adalah membaca sya’ir?
Sesungguhnya aku telah mengetahui padanan ayat yang biasa dibaca oleh Nabi saw, lalu menyebut dua puluh surat yang termasuk surat al­mufashshal, tiap rakaat (dibaca) dua surat.” (Muttafaq Alaih)

c. Membaca al­Qur’an hendaklah dengan penuh perhatian dan memikirkan maksud ayat yang dibaca, tidak asal baca. Allah SWT berfirman:

Artinya : “Maka apakah mereka tidak mentadabburkan (memperhatikan) Al Qur'an?” (QS. an­Nisa’, 4: 82)

Tadabbur berarti membaca dengan penuh perhatian, menggali isi ayat yang dibaca serta melaksanakan apa yang dibaca. Tadabbur dapat dilakukan sendirian atau bersama dalam suatu diskusi, seminar, dan sebagainya. Dari ayat di atas juga dapat difahami adanya ancaman dan peringatan keras kepada orang yang tidak mentadabburkan al­Qur’an. Pada hadits lain dinyatakan:

Artinya: “Dari Abu Musa r.a., dari Nabi saw (diriwayatkan bahwa) beliau bersabda: Pelajari dan hafalkanlah al­Qur’an dengan tekun. Demi Allah yang jiwaku berada dalam kekuasaannya, al­Qur’an itu lebih cepat lepasnya (dari seseorang) dibanding dengan cepatnya lepas unta dari tali pengikatnya.” (Muttafaq Alaih)

Hadits di atas memperingatkan kepada kaum muslimin agar selalu mempelajari dan mengamalkan ajaran al­Qur’an, karena kalau tidak diamalkan seseorang akan mudah lupa terhadap ajaran tersebut. Dari keterangan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa membaca surat Yasin bersama­sama pada malam Jum’at bukan sunnah Rasulullah saw dan tidak ditemukan nash­nash yang shahih dan maqbul yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukumnya. Yang ada dasar hukumnya ialah perintah membaca al­ Qur’an dengan tartil, mentadabburkan al­-Qur’an, baik sekali membaca al­Qur’an lewat tengah malam. Bila tidak demikian, maka al­Qur’an itu mudah hilang dalam ingatan orang yang kurang memperhatikan ajarannya.

Klik dibawah ini untuk mendapatkan web hosting Gratisan
Web Hosting

ZIARAH KUBUR,DAN BACAAN YASINKIRIM BACAAN UNTUK ORANG MENINGGAL DUNIA

Penanya:
Drs. Dimyati, Semarang

A. Pertanyaan:

Kekuatan sanad hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakar tentang ziarah kubur kedua orang tua atau salah satu dari mereka pada setiap hari Jum‘at, kemudian hadits tentang membaca surat Yasin akan diampuni dia sebanyak jumlah ayat dan huruf?

Jawaban:

Setelah melalui pelacakan dari berbagai kitab hadits, akhirnya bisa ditemukan di dalam kitab Faidl al­Qadir Syarah Kitab al­Jami‘ ash­Shaghir karya Abd ar­Rauf al­ Manawi, Juz VI: 141. Teks selengkapnya adalah:

Artinya: “Riwayat Abu asy­Syaikh dan ad­Dailamiy dari Abu Bakar: Barangsiapa berziarah kubur kedua orang tuanya atau salah satunya pada setiap hari Jum‘at, kemudian membaca surat “Yasin wa al­Qur’an al­Hakim”, maka diampunilah dia sebanyak jumlah ayat dan huruf dari surat itu.”

Menurut kitab Mizan al­I‘tidal fi Naqd ar­Rijal, karya Syams ad­Din Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman adz­Dzahabi, Juz V: 316, dinyatakan bahwa sanad hadits tersebut bathil, dengan demikian tidak bisa dijadikan hujjah.

Sedangkan hadits kedua tentang pembacaan permulaan surat al­-Baqarah di sebelah kepala mayit, dan akhir surat al­Baqarah di sebelah kakinya, dengan sangat menyesal belum bisa ditemukan rujukannya, meskipun sudah dilacak di berbagai kitab hadits. Kami kesulitan menemukan kata kunci untuk mencari hadits tersebut, karena dalam pertanyaan anda hanya menyertakan terjemahannya.

B. Pertanyaan:

Kalau hadits tersebut tidak shahih dan tidak pula hasan, bagaimana jika menggunakan qiyas terhadap pengiriman bacaan untuk orang yang telah meninggal dengan hadits ‘Aisyah yaitu pemberian sedekah anak kepada ibunya yang telah meninggal?

Jawaban:

Masalah yang anda tanyakan adalah masalah klasik, sejak dulu menjadi khilafiyah. Namun bagaimana pandangan Islam terhadap masalah tersebut, dan pendapat mana yang lebih patut diterima jika dihadapkan keada dalil­dalil hukumnya?

Al­Qur’an surat an­Najm (53) ayat 38 dan 39 mengajarkan:

Artinya: “Bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”

Dari dua ayat di atas, diperoleh penegasan bahwa seseorang yang berdosa adalah akibat perbuatan yang dilakukannya sendiri. Dan bahwa manusia hanya akan memperoleh pahala atas perbuatan yang dilakukannya sendiri pula. Kemungkinan seseorang ikut dibebani dosa perbuatan orang lain hanyalah jika seseorang itu berpartisipasi dalam terjadinya perbuatan dosa orang lain itu. Demikian juga orang dapat menerima pahala perbuatan yang dilakukan orang lain, jika ia berpartisipasi dalam terjadinya perbuatan orang lain itu. Hadits Nabi saw mengajarkan:

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa mengajak kepada petunjuk (kebaikan), maka ia akan mendapat pahala seperti pahala­pahala yang diberikan kepada orang­orang yang mengikuti ajakannya, tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka; dan orang yang mengajak kepada kesesatan, maka ia akan menerima dosa seperti dosa orang­orang yang mengikuti ajakannya, tanpa mengurangi dosa­dosa mereka.” [HR. Muslim, Juz IV: 2060].

Hadits Nabi saw yang lain:

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Jika manusia telah meninggal, maka terputuslah (pahala) amalnya, kecuali tiga macam amal; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakan baik untuknya.” [HR. Muslim].

Tiga macam amal yang masih mengalir terus pahalanya, sampaipun yang beramal telah meninggal dunia, seperti disebutkan dalam hadits tersebut, hakikatnya adalah amal yang dilakukan sendiri oleh yang bersangkutan, bukan amal yang dilakukan oleh orang lain.

Hadits tentang anak yang menyedekahkan harta atas nama ibunya:

Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Aisyah, bahwasanya seorang shahabat datang kepada Rasulullah saw dan bertanya: Sesungguhnya ibuku telah meninggal dengan tiba­tiba, sekiranya ia sempat berbicara niscaya ia akan menyedekahkan sebagian hartanya. Dapatkah aku bersedekah atas nama ibuku (ibunya juga akan memperoleh pahala)?. Rasulullah saw menjawab ‘dapat’, maka ia bersedekah atas nama ibunya”  [HR. an­Nasa’i].

Dari dalil­-dalil di atas dapat diambil pelajaran bahwa kedudukan anak terhadap orang tua itu dapat dihubungkan dengan amal orang tua ketika hidup telah mendidik anaknya, sehingga anak dapat merasakan wajib berbuat baik kepada orang tuanya sampaipun setelah mereka meninggal dunia. Jadi orang tua yang mempunyai anak demikian itu hakikatnya memetik amalnya sendiri ketika masih hidup, yaitu mendidik anak untuk menjadi anak yang shaleh. Maka amal anak atas nama orang tua tidak termasuk pembicaraan menghadiahkan pahala amal shaleh.

Seseorang yang mendoakan baik untuk orang lain, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia, tidak ada masalah sama sekali. Seperti shalat jenazah berisi doa yang dimohonkan kepada Allah bagi orang yang meninggal dunia itu. Atau doa yang sering kita baca, misalnya:

Oleh karena itu mendoakan orang lain bukan masalah menghadiahkan pahala amal bagi orang lain.Memperhatikan bahwa tidak ada ajaran khusus tentang menghadiahkan pahala amal kepada orang lain, baik dari al­Qur’an maupun darti al­Hadits, para shahabat Nabi pun tidak melakukannya. Maka yang paling selamat adalah berpegang saja kepada nash yang ada. Tentang qiyas yang anda tanyakan, dalam kasus ini tidak bisa diberlakukan karena bertentangan dengan nash yang lebih tegas. Qiyas dalam bidang ibadah seperti ini, hanya qiyas yang dilakukan oleh Nabi saw yang bisa diterima.

Adapun menganut pendapat dapat sampainya hadiah pahala amal kebajikan kepada orang lain, sering berakibat negatif. Orang yang kurang beramal shaleh menjagakan hadiah pahala dari orang lain.

C. Pertanyaan:

Pada buku Tanya Jawab Agama Juz IV halaman 87, hadits riwayat ad­ Daruquthni dari Ibnu Abbas belum selesai.

Jawaban:

Setelah kami cek di dalam kitab Sunan ad­Daruquthni Juz I: 304, memang benar ada kekurangan, yaitu kalimat: hatta qubidla. Maka teks selengkapnya berbunyi:

Artinya: “Bahwasanya Nabi saw tetap membaca ‘bismillahirrahmanirrahim’ dengan nyaring di (permulaan) dua surat (pada waktu membaca al­Fatihah dan pada waktu membaca surat lain sesudah al­Fatihah) sampai beliau wafat.” [HR. ad­ Daruquthni dari Ibnu Abbas].

D. Pertanyaan:

Di dalam buku HPT halaman 160, memang benar seharusnya tertulis 46 – 60 ekor unta, bukan 49 ­ 60 ekor unta. Pada halaman 155 tertulis 76 – 90 ekor unta dikenakan zakat 2 ekor anak unta betina umur 3 tahun. Sedangkan pada halaman 160, tertulis 76 – 90 ekor unta, dikenakan zakat 2 ekor anak unta betina umur 2 tahun. Mana yang benar?

Jawaban:

Yang benar adalah 76 – 90 ekor unta, dikenakan zakat 2 ekor anak unta betina umur 2 tahun lebih (2 tahun menginjak tahun ketiga).

D. Tim Fatwa mengucapkan terima kasih atas koreksian anda terhadap beberapa kesalahan cetak yang terdapat di dalam buku “Tanya Jawab Agama”. Misalnya anda menyebutkan buku jilid III halaman 67, tertulis surat an­Nahl ayat 96 seharusnya ayat 98, jika yang dimaksud adalah membaca “ta‘awudz” maka pada buku jilid III edisi 1995 halaman 80, sudah seperti yang dimaksud. Buku jilid III halaman 143 tertulis ayat 10 surat al­Isra’ ternyata teksnya tidak seperti yang dimaksud. Pada buku edisi 1995, terdapat pada halaman 166 masih tertulis al­Isra’ ayat 10. Yang benar adalah surat al­ Isra’ ayat 110, teksnya berbunyi:
Buku jilid III halaman 145 menjelaskan surat al­Baqarah ayat 187, tetapi kemasukan ayat 10 surat al­Isra’. Dalam buku jilid III edisi 1995, halaman 168 tentang junub, jima’ dan lain­lain, jika ini yang dimaksud, maka ayat 10 surat al­Isra’ sudah tidak ada lagi.
Wallahu a’lam bish­shawwab. *fz)



Klik dibawah ini untuk mendapatkan web hosting Gratisan
Web Hosting

BUNGA KOPERASI SIMPAN PINJAM

Penanya:
H. Hasan Basri,
Koperasi Fatimah Pare

Pertanyaan:
Beberapa saat yang lalu ada fatwa dari MUI bahwa bunga Bank adalah riba. Oleh sebab itu, perlu kami minta penjelasan dari Majelis Tarjih, apakah bunga Koperasi Simpan Pinjam termasuk riba? Mohon penjelasan!

Jawaban:

Pertanyaan yang hampir sama dengan pertanyaan yang saudara ajukan, pernah ditanyakan dan telah diberi jawaban secara rinci berdasarkan Keputusan Muktamar Tarjih di Malang Tahun 1989, serta telah dimuat dalam Buku Soal Jawab Agama Jilid II halaman 229 – 232. Namun untuk memenuhi permintaan saudara kami sampaikan jawaban secara ringkas sebagai berikut.

Koperasi adalah sebuah lembaga usaha bersama yang didirikan oleh sejumlah orang sebagai anggotanya. Jika dalam usaha ini menghasilkan keuntungan, maka keuntungan itu dibagi kepada semua anggotanya. Dengan demikian dalam koperasi mewujudkan mu’awwanah (tolong menolong) di antara sesama anggota. Jika dalam mengembangkan usaha ini dengan bunga, sesungguhnya bunga itu diperoleh dari anggota dan akan dibagi kepada anggota juga. Muktamar Tarjih di Malang Tahun 1989 memutuskan bahwa bunga koperasi simpan pinjam hukumnya mubah (boleh). Tentu saja besar bunga pinjaman dari koperasi ditetapkan berdasarkan musyawarah dan keadilan, tidak ada yang merugikan dan tidak ada pula yang dirugikan, mengingat firman Allah Swt:

Artinya: “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul­Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” [al­Baqarah (2): 279].

Koperasi tidak sama dengan Bank, karena tidak semua nasabah Bank adalah para pendiri Bank, sehingga bunga yang dibayarkan oleh nasabah kepada Bank –sebagai  keuntungan dari Bank­ tidak menjadi milik nasabah yang tentunya keuntungan itu tidak akan dibagikan kepada nasabah. Dengan demikian, maka pada Bank yang menggunakan sistem bunga, ada pihak yang dirugikan, sebagaimana diterangkan dalam ayat yang dikutip di atas. Berdasarkan keterangan tersebut, kiranya dapat menjadi penjelasan tentang perbedaan bunga Bank dengan bunga dalam Koperasi. Wallahu a‘lam bish­shawab. *dw)

Klik dibawah ini untuk mendapatkan web hosting Gratisan
Web Hosting

SIKSA KUBUR DAN NIKMAT KUBUR, ADA ATAU TIDAK?

Pertanyaan Dari:
Bapak Muh. Saifuddin,
Desa Randu, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang, Jawa Tengah

Tanya:
Ada tokoh agama yang mengatakan, bahwa siksa kubur dan nikmat kubur itu tidak ada. Pernyataan ini berbeda dengan keyakinan saya selama ini, bahwa nikmat dan siksa kubur itu ada. Berdasarkan kenyataan ini, dalil apa yang sesuai dijadikan hujjah untuk menepis pendapat tokoh agama tersebut?

Jawab:

Menurut hadits yang diriwayatkan oleh al­Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa di alam kubur nanti, manusia akan diberi isyarat akan hasil amal perbuatannya di dunia beserta hasilnya. Yang baik akan mendapat sorga dan yang jahat akan menjadi penghuni neraka. Hadits dimaksud berbunyi:

Artinya: “Sesungguhnya apabila meninggal salah seorang di antara kamu, maka dinampakkan kepadanya setiap pagi dan sore, tempat tinggalnya. Jika ia termasuk ahli sorga, maka sorgalah tempatnya. Dan apabila ia ahli neraka, maka nerakalah tempat tinggalnya. Kemudian dikatakan: “Inilah tempat tinggalmu, sampai nanti engkau dibangkitkan pada hari kiamat.” [Hadits Riwayat al­Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar]

Dengan ditunjukkannya hasil kebaikan yang akan diberikan nanti, merupakan kenikmatan. Sebaliknya, bila diperlihatkan akibat yang akan diberikan kepada seseorang yang berbuat jahat, merupakan hukuman atau siksa. Di samping itu, dijumpai pula riwayat yang menyebutkan adanya siksa kubur, seperti hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ketika Rasulullah saw melewati dua kuburan, beliau bersabda:

Artinya: “Sesungguhnya keduanya tidak disiksa kubur, karena sebab yang besar. Satu di antara keduanya disiksa karena tidak bersih dari air kencingnya, dan yang satu lagi karena suka mengadu­domba. Kemudian Nabi meminta untuk diambilkan pelepah kurma dan membelahnya menjadi dua, seraya bersabda: “Mudah­mudahan meringankan mereka selama belum kering keduanya.” [Hadits Riwayat al­Bukhari dan Muslim]

Mengenai siksa kubur bagi yang berbuat dosa, tidaklah diragukan, mengingat tuntunan Nabi saw yang selalu dibaca pada waktu shalat (doa setelah tahiyyat akhir), yang isinya memohon perlindungan dari empat hal, yaitu: dari siksa jahanam, dari siksa kubur, dari fitnah hidup dan fitnah mati, serta memohon perlindungan dari fitnah Dajjal. Dasar ini diriwayatkan antara lain oleh Muslim.

Klik dibawah ini untuk mendapatkan web hosting Gratisan
Web Hosting

BISMILLAH AYAT AL-QUR'AN DAN DIBACA KETIKA SALAT


Pertanyaan Dari:

R.J. Iskandar, Riau Periangan, Padang­ratu, Pos Bandarsari,

Lampung Tengah 34176



Tanya:

Saya dilahirkan di Tasikmalaya dan semula berasal dari keluarga dan berpendidikan Rooms Katholiek, tapi sejak tanggal 22-08-1952 saya berdomisili di Lampung. Kira-kira beberapa bulan sebelum saya pindah ke desa tempat domisili saya sekarang, karena hidayah dari Allah, saya mulai mengenal Islam dan sampai sekarang masih perlu belajar dan atas pertolongan Allah maka secara tidak terduga sama sekali saya mendapatkan guru, yaitu berupa sebuah buku yang berjudul “Soal Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama” yang disusun oleh A. Hasan, tokoh/pendiri Persis. Tetapi layaknya manusia yang pengetahuannya terbatas, banyak hal-hal yang kurang saya fahami dan saya perlu bertanya. Adapun permasalahan yang saya tanyakan berkaitan dengan bacaan “Basmalah” diawal membaca al-Fatihah dikala salat, yang menurut A. Hasan diakhir uraiannya pada jilid I halaman 103 disebutkan sebagai berikut: “Pendeknya, al-Fatihah dan Bismillah yang termasuk di bilangan al-Fatihah itu wajib dibaca, maupun dengan nyaring ataupun tidak”. Pertanyaan yang timbul pada saya sekarang adalah:

1.      Apakah yang dimaksudkan dengan kalimat di atas berarti bahwa al-Fatihah itu terdiri dari tujuh ayat itu termasuk Bismillah?

2.      Apabila ya, apakah pendapat alm. A. Hasan itu tidak bertentangan dengan Hadis Qudsi dan Hadis Aisyah yang diriwayatkan Muslim?

3.      Apakah Q.S. 15 (surat al-Hijr) ayar 87 itu yang dimaksud adalah surat al-Fatihah?

Berikut saya kutipkan Hadis Qudsi dan hadis riiwayat Muslim dari Aisyah yang saya sebutkan di atas :


1- يَا ابْنَ آدَمَ أَنْزَلْتُ عَلَيْكَ سَبْعَ آيَاتٍ ثَلاَثٌ لِي وَثَلاَثٌ لَكَ وَوَاحِدَةٌ بَيْنِي وَبَيْنَكَ فَأَمَّا الَّتِي لِي اْلحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِينَ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ وَالَّتِي بَيْنِي وَبَيْنَكَ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ وَأَمَّا الَّتِي لَكَ اهْدِنَا الصِّرَاطَ اْلمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ اْلمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ [رواه الطبراني]

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَفْتِحُ الصَّلاَةَ بِالتَّكْبِيرِ وَاْلقِرَاءَةَ بِاْلحَمْدِ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِينَ [رواه مسلم]



Jawab:

Ketiga pertanyaan saudara akan kami jawab dalam bentuk satu paket sebagai berikut:

Surat al-Fatihah itu memang terdiri atas tujuh ayat. Hal itu sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw kepada Abu Said bin al-Mu’alla:


لَأُعَلِّمَنَّكَ سُورَةً هِيَ أَعْظَمُ السُّوَرِ فِي اْلقُرْآنِ اْلحَمْدُ ِللهِ رَبِّ اْلعَالَمِينَ هِيَ السَّبْعُ اْلمَثَانِي وَاْلقُرْآنُ اْلعَظِيمُ الَّذِي أُوتِيتُهُ [رواه البخاري]

Artinya: “Sungguh aku akan mengajarkan engkau surat yang paling agung dan surat-surat yang ada dalam al-Qur’an: Al-­Hamdulillahi rabbil ‘alamin, ia tujuh (ayat) yang di- ulang-ulang, al-Qur’an yang agung itu yang didatangkan-Nya kepadaku” [Hadis Riwayat al-Bukhari]


Hadis tersebut di atas dan juga beberapa hadis lainnya, termasuk hadis at-Tabrani dari Ubay yang saudara lampirkan itu menunjuk kepada yang dimaksud oleh firman Allah ayat 87 surat 15 (al-Hijr) yang saudara tanyakan itu, artinya tujuh ayat itu diulang-ulang dalam salat (juga dalam surat-surat lainnya).

Mengenai kedudukan “Basmalah’ (Bismillahirrahmanirrahim) itu sendiri apakah ia termasuk ayat dan surat al-Fatihah, di kalan­gan ulama ada tiga pendapat:

Pertama, sebahagian ulama (Maliki­yah) berpendapat bahwa “basmalah” bukan ayat dari surat al-­Fatihah, juga pada surat-surat lainnya, kecuali basmalah yang terletak di tengah-tengah surat an-Naml. Pendapat ini didukung oleh hadis-hadis Nabi saw antara lain hadis Anas ra, beliau berkata:


صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَلَمْ أَسْمَعْ أَحَدًا مِنْهُمْ يَقْرَأُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ [رواه مسلم وأحمد]

 Artinya: “Aku salat bersama Rasulullah saw, Abu Bakar, Umar dan Usman ra, tidak aku dengar seorang pun dari mereka yang membaca bismillahirrahmanirrahim.” [Hadis Riwayat Muslim dan Ahmad]


Juga termasuk riwayat Muslim dari Aisyah yang saudara lam­pirkan itu. Menurut pendapat ini (Malikiyah) tidak membaca basmalah, ketika membaca surat al-Fatihah di dalam salat. Tradisi ini terus dipertahankan di Makkah dan Madinah, imam salat tidak membaca basmalah ketika membaca al-Fatihah.

Kedua, pendapat lainnya (Hanafiyah), berpendapat bahwa basmalah itu suatu ayat tersendiri, bukan bagian ayat dari surat al-Fatihah dan juga surat-­surat yang lainnya, kecuali basmalah pada surat an-Naml. Mereka berdalil dengan hadis Abu Daud dengan sanad yang sahih dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah saw tidak mengenal pemisahan surat sampai diturunkan kepadanya: Bismillahir-Rahmanir-Rahim. Menurut pendapat ini “basmalah” ditulis dalam mushaf menunjukkan bukti bahwa ia adalah ayat al-Qur’an tetapi bukan bahagian dari surat al-Fatihah. Sungguhpun demikian basmalah dapat dibaca dalam salat tetapi tidak nyaring.

Ketiga, yaitu pendapatnya Imam asy-Syafi’i. Bahwa berdasarkan penulisan basmalah dalam mushaf al-Qur’an dan berdasar sekian banyak hadis yang dinilainya sahih antara lain hadis Abu Hurairah dimana Nabi saw bersabda:


إِذَا قَرَأْتُمُ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ اْلعَالَمِينَ فَاقْرَءُوا بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ إِنَّهَا أُمُّ الْقُرْآنِ وَأُمُّ الْكِتَابِ وَالسَّبْعُ الْمَثَانِى وَبِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ أَحَدُ أَيَتِهَا [رواه الدارقطني]

Artinya: “Apabila kamu hendak membaca al-hamduldlahi rabbil ‘alamin maka bacalah bismillahir-rahmanir-rahim. Sesung­guhnya dia itu adalah ummul-Qur’an, ummul-kitab dan as-sab’ul-masani dan bismillahir-rahmanir-rahim adalah salah satu ayatnya.” [Hadis Riwayat ad-Daruqutni]


Maka Imam asy-Syafii berpendapat basmalah bahagian (ayat pertama) dari surat al-Fatihah sehingga ia wajib dibaca ketika salat, meninggalkannya berarti tidak menyempurnakan bacaan al-Fatihah dan dengan demikian salat menjadi batal.

Pendapat-pendapat di atas yang ternyata masing-masingnya mempunyai alasan-alasan keagamaan dan masing-masing berusaha mengikuti tatacara yang dicontohkan Nabi saw yang diriwayatkan para sahabat beliau. Pengasuh Rubrik Fatwa Agama apabila disuruh memilih, kami cenderung untuk mengkompromikan antara hadis-hadis yang menjadi pegangan mereka itu, terutama hadis-hadis yang menjadi pegangan imam asy-Syafi’i yaitu hadis Abu Hurairah dengan hadis sahabat Anas ra, yang menjadi rujukan pokok pendapat imam Malik. Sahabat Anas tidak mendengar bahwa Nabi saw membaca “basmalah” dalam salat, itu tidak berarti bahwa Nabi saw tidak membaca “basmalah”, Boleh jadi Nabi saw membacanya tetapi tidak nyaring. Mengenai hadis Muslim dari ‘Aisyah yang saudara sebutkan itu menunjukkan bahwa ‘Aisyah menyebut satu ayat saja (alhamdu-lillahi-rabbil-alamin) untuk memendekkan pembicaraan. Andaikata ‘Aisyah menyebut permulaan surat “bismillahir-rahmanir-rahim” tentu tidak jelas surat mana yang dimaksudkan, karena semua surat kecuali surat at-­Taubah (Baraah) dimulai dengan basmalah. Mengenai hadis at-­Tabrani dari sahabat Ubay yang saudara lampirkan itu, juga tidak kita ketemukan tujuh ayat dalam surat al-Fatihah tanpa diikutkan dengan basmalah. Memang ada sementara ahli yang berpendapat bahwa sesudah lafaz “siratal-lazina an’amta ‘alaihim” dijadikan ayat keenam, lalu “gairil-magdubi ‘alaihim” dan seterusnya menjadi ayat ketujuh. Tetapi pandangan seperti ini bertentangan dengan kenyataan dalam Mushaf al-Qur’an di mana ayat-ayatnya khususnya dalam surat al-Fatihah menjadi tujuh ayat dengan “basmalah”. Jadi “basmalah” termasuk salah saw dari tujuh ayat surat al-Fatihah, hanya tidak wajib dinyaringkan pada salat yang nyaring bacaan

Klik dibawah ini untuk mendapatkan web hosting Gratisan
Web Hosting

ANAK MENEBUS DOSA ORANG TUA



Pertanyaan Dari:
(Hamba Allah, nama dan alamat diketahui pengasuh rubrik Fatwa Agama)

Tanya:
Ada sepasang suami isteri dan telah dikaruniai dua orang anak perempuan dan keduanya telah berumah tangga. Suatu saat sang suami berterus terang mengaku kepada isterinya, bahwa ketika isterinya mengandung anak yang bungsu, ia telah menyeleweng (berzina) sebanyak X kali. Sampai anak-anaknya dewasa dan telah menikah semua si isteri tetap merahasiakan perbuatan suaminya itu kepada siapa pun. Setelah suaminya meninggal dunia dan ia dalam kondisi sakit, barulah ia membuka rahasia tersebut kepada dua putrinya yang menungguinya.
Kemudian setelah ibunya meninggal dunia, salah seorang putrinya berinisiatif untuk mohon petunjuk kepada seorang ustadz mengenai masalah yang pernah menimpa ayahnya. Hal ini karena anak perempuan itu merasa yakin bahwa ayahnya telah berbuat dosa dan ibunya menjadi menderita karena perbuatan ayahnya itu. Oleh ustadz dinasehatkan agar ia dan saudaranya (kedua anak perempuan dari si ayah tadi) melakukan zina dengan lelaki lain sebanyak X kali seperti yang ayahnya lakukan. Menurut ustadz perbuatan tersebut sekalipun secara fisik merupakan zina dan perbuatan keji, tetapi pada hakekatnya adalah ibadah sesuai perintah Allah swt. Lebih lanjut menurut ustadz tersebut, hal itu merupakan kewajiban anak kepada orang tuanya yang telah meninggal dunia untuk meringankan dosa dan siksanya di akhirat. Hanya saja penyelesaian tersebut (pelaksanaan zinanya) harus secara rahasia termasuk kepada suami juga harus dirahasiakan, tidak ada seorang pun yang boleh tahu kecuali pihak-pihak yang terlibat dalam perbuatan tersebut.
Saya tidak setuju dengan saran ustadz dan sejak awal menolak penyelesaian tersebut. Bukankah dengan begitu si isteri (anak perempuan yang disuruh berzina) berdosa kepada suaminya, dan bukankah dosa seseorang tidak bisa ditebus atau ditanggung oleh orang lain? Oleh karena itu saya berdialog lebih lanjut dengan ustadz tersebut, tetapi hasilnya saya tidak bisa membantah, karena dasar beliau jelas. Menurut beliau syarat berzina tidak boleh diketahui orang lain (termasuk suami) adalah syarat mutlak, dan dosa orang tua boleh ditebus anaknya selama masih di dunia, apa yang dikatakan ustadz didukung oleh dua orang ustadz yang lain. Saya akhirnya pasrah seandainya itu merupakan kebenaran yang datangnya dari Allah swt. Saya sebagai seorang yang beriman akan menerimanya. Namun demikian saya tetap berusaha mencari kebenaran atas persoalan tersebut, karena mencari kebenaran menjadi pedoman hakiki bagi saya.
Demikian kasus yang menimpa saya. Oleh karena itu saya mohon jawaban kepada pengasuh rubrik fatwa Suara Muhammadiyah dan mohon menjelaskannya, apakah memang terdapat dasar hukum tentang penyelesaian seperti yang disarankan oleh ustadz tersebut.

Jawab:
Saudara penanya, terima kasih atas pertanyaannya dan kami bisa merasakan kegelisahan yang saudara rasakan dalam menanggapi saran dari ustadz yang saudara mintai pertimbangannya, karena sekilas saran tersebut bertentangan dengan logika yang sehat, mengapa untuk mencapai kebaikan harus melalui perbuatan dosa. Bukankah perbuatan dosa itu hanya akan menghasilkan dosa/ siksa juga.
Sudah jelas bahwa berbuat zina itu adalah dosa, bahkan menurut al-Qur’an termasuk dosa besar, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Isra’ ayat 32
Ÿ
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”

Menurut Islam berbuat zina itu selain berdosa juga termasuk berbuat pidana yang hukumannya telah ditetapkan dalam al-­Qur’an surat an-Nur ayat 2:

Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”

Untuk menjelaskan betapa jeleknya perbuatan zina, al-Qur’an hanya membolehkan mereka para pelaku zina kawin hanya dengan sesama pezina atau dengan orang musyrik. Hal ini disebutkan dalam ayat 3 surat an-Nur:

Artinya: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.”

Sekalipun zina adalah perbuatan dosa, tapi tidak berarti dosa yang tidak dapat diampuni. Menurut hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ubadah bin as-Samit bahwa orang yang berbuat zina, mencuri dan membunuh, kemudian dia dihukum dengan hukuman yang telah ditentukan Allah, maka hukumannya itu sebagai tebusan atas perbuatan dosanya itu. Bagi orang yang berbuat zina tetapi tidak dihukum, apakah mungkin ia akan diampuni dosanya itu? Mungkin saja, asal dia betul-betul bertaubat, karena Islam adalah agama yang tidak menghalangi orang untuk bertaubat, sekalipun Islam juga bukan agama yang mempermudah taubat (Baca SM beberapa waktu yang lalu mengenai mengawini wanita yang pernah berzina). Mudah-mudahan bapak yang saudara sebutkan telah berbuat zina adalah termasuk orang yang telah melakukan dosa tetapi telah bertaubat dan taubatnya itu diterima Allah.
Saudara penanya, menurut Islam bahwa bahwa seseorang yang berbuat dosa, orang tua sekalipun (dalam kasus yang saudara tanyakan adalah seorang bapak berbuat zina) maka yang menanggung dosanya di sisi Allah adalah dia sendiri. Tidak bisa dosanya itu melimpah kepada orang lain termasuk kepada anaknya dan pelaku itu sendirilah yang akan mempertanggungjawabkannya. Hal ini seperti yang saudara sebutkan sendiri bahwa dosa seseorang tidak bisa ditebus atau ditanggung oleh orang lain, yaitu sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat an-­Najm ayat 38-39:
ž
Artinya: “(yaitu) Bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”

Dalam Islam diajarkan bahwa seorang anak wajib berbakti kepada orang tuanya, baik sewaktu keduanya masih hidup di dunia, maupun sesudah meninggal dunia. Cara berbakti kepada orang tua yang sudah meninggal dunia antara lain si anak hendaknya menjadi anak yang baik (waladun salihun) dan selalu berbuat baik. Kemudian juga mendo’akan orang tuanya, termasuk memohonkan ampunan bagi keduanya.
Tidak ada dalam al-Qur’an maupun hadis yang mengajarkan bahwa dosa orang tua dapat ditebus oleh anaknya di dunia dengan cara si anak melakukan perbuatan dosa seperti perbuatan dosa yang dilakukan orang tuanya. Bahkan kalau cara ini yang ditempuh, maka si pelaku (anak yang berbuat zina) juga berdosa dan harus dikenai hukuman pidananya, sementara dosa orang tuanya tidak akan terkurangi. Oleh karena itu apa yang disarankan oleb ustadz tersebut tidak harus dituruti bahkan jangan dituruti. Sangat disayangkan saudara tidak mengemukakan apa argumen atau dalil yang dikemukakan oleh ustadz tersebut, yang memungkinkan kami untuk membahas kebenarannya. Seandainya saudara bersedia kami tunggu surat berikutnya tentang argumen atau dalil yang dikemukakan oleh ustadz tersebut.

Klik dibawah ini untuk mendapatkan web hosting Gratisan
Web Hosting

MUHAMMADIYAH DAN TAHLILAN

Saudara Ruslan Hamidi, Kembangan, Sumber Rahayu, Moyudan, Sleman, Yogyakarta

Pertanyaan :
Apakah Muhammdiyah membolehkan tahlilan, seperti mengucapkan kata “La Ilaha Illallah” sebanyak 33 kali? Saya rasa lebih menenangkan dan menyejukkan hati serta menciptakan situasi yang Islami.

Jawaban :

Pertanyaan tersebut sebenarnya sudah sering ditanyakan dalam pengajian-pengajian, dan pernah juga dijawab lewat Suara Muhammadiyah, secara singkat. Namun demikian kami tidak keberatan menjelaskan kembali lewat Suara Muhammadiyah agar pembaca lebih mudah memahaminya.

Jika yang dimaksudkan tahlil adalah membaca “La Ilaha Illallah” (tiada Tuhan selain Allah), Muhammadiyah tidak melarang, bahkan menganjurkan agar memperbanyak membacanya, berapa kali saja, untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur`an dan al-Hadits.

1. Dalam al-Qur`an ditegaskan sebagai berikut:

(فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ (البقرة {2}:152
Artinya : “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku.” (al-Baqarah {2}:152)

2. Pada ayat lainnya Allah berfirman:

(يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا كَثِيرًا ( الأحزاب {33}:41

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.” (al-Ahzab {33}:41)

3. Pada ayat lainnya Allah berfirman:

… (قُلْ إِنَّمَا هُوَ إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنَّنِي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ (الأنعام {6}:19

Artinya : “… katakanlah: Sesungguhnya dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah).” (al-An’am {6}:19)

4. Pada ayat lainnya Allah berfirman:

(قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ (1) اللهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4) (الإخلاص {112}:1-4

Artinya : “Katakanlah: Dia-lah Allah Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” (al-Ikhlas {112}:1-4)

5. Pada ayat lainnya Allah berfirman:

(فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ (محمد {47}:19

Artinya : “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi dosa orang-prang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu.” (Muhammad {47}:19)

Perintah berzikir dengan menyebut Lafal Jalalah (La Ilaha illa Allah) dalam hadits-hadits pun banyak diungkapkan, antara lain ialah :

1. Hadits Nabi SAW:

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ (رواه البخارى، كتاب الصلاة، باب المساجد فى البيوت، عَنِ عِتْبَانُ بن مَالِكُ)

Artinya : Rasullah SAW besabda; “Maka sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas neraka terhadap orang yang mengucapkan ‘La Ilaha Illa Allah’, yang dengan lafal tersebut ia mencari keridhaan Allah.” (HR. al-Bukhari, Kitab as-Shalah (420), Bab al-Masajid fi al-Buyut.)

2. Hadits Nabi SAW:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشَرَ رِقَابٍ وَكُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَمُحِيَتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ وَكَانَتْ لَهُ حِرْزًا مِنَ الشَّيْطَانِ يَوْمَهُ ذَلِكَ حَتَّى يُمْسِيَ وَلَمْ يَأْتِ أَحَدٌ أَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ إِلاَّ أَحَدٌ عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ وَمَنْ قَالَ سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ حُطَّتْ خَطَايَاهُ وَلَوْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْحَرِّ (رواه مسلم، كتاب الذكر، باب فضل التهليل، نمرة: 28/2691، عن أبى هريرة)

Artinya : Dari Abi Hurairah; Bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa mengucapkan ‘La ilaha illa Allah wahdahu la syarika lahu lahul-mulku wa lahul-hamdu wa huwa ‘ala kulli syai`in qadir’, dalam satu hari sebanyak seratus kali, maka (lafal jalalah tersebut) baginya sama dengan memerdekakan sepuluh hamba sahaya, dan dicatat baginya seratus kebaikan, dan dihapus daripadanya seratus kejahatan, dan lafal jalalah tersebut baginya menjadi perisai dari syaitan selama satu hari hingga waktu petang; dan tidak ada seorang pun yang datang (dengan membawa) yang lebih afdal, daripada apa yang ia bawa (ucapkan), kecuali orang yang mengerjakan lebih banyak dari itu. Dan barangsiapa mengucapkan ‘subhana-llah wa bi hamdih’ (Allah Maha Suci dan Maha Terpuji) dalam satu hari sebanyak seratus kali, maka dihapus kesalahan-kesalahannya, sekalipun seperti buih air panas yang mendidih.” (Diriwayatkan oleh Muslim, Kitab az-Zikr, Bab Fadlut-Tahlil, No. 28/2691, dari Abi Hurairah)

3. Hadits Nabi SAW:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَأَنْ أَقُولَ سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ (رواه مسلم، كتاب الذكر، باب فضل التهليل، نمرة: 32/2695، عن أبى هريرة)

Artinya : Dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh, saya mengucapkan: ‘Subhana-llah wa al-hamdu lillah wa la Ilaha illa Allah wa Allahu Akbar’ (Maha Suci Allah dan segala puji hanya bagi Allah, dan tiada Tuhan yang pantas disembah kecuali Allah, dan Allah adalah Maha Besar) adalah lebih saya cintai daripada terbit matahari.” (Diriwayatkan oleh Muslim, Kitab az-Zikr, Bab Fadlut-Tahlil, No. 32/2695, dari Abi Hurairah)

Ayat-ayat al-Qur`an dan hadits-hadits tersebut memberikan pengertian bahwa memperbanyak membaca tahlil adalah termasuk amal ibadah yang sangat baik, sehingga mereka yang memperbanyak tahlil dijamin masuk surga dan haram masuk neraka. Tentu saja tidaklah cukup hanya mengucapkannya, atau melafalkannya saja, melainkan harus menghadirkan hati ketika membacanya, dan merealisasikannya dalam kehidupan keseharian. Yaitu dengan memperbanyak amal shalih dan meninggalkan segala macam syirik, baik syirik besar maupun syirik kecil, yang dalam istilah Muhammadiyah; meninggalkan TBC: takhayyul, bid’ah dan khurafat.

Takhayyul ialah mempercayai adanya khayalan datangnya bala atau musibah yang dibawa oleh makhluk Allah, seperti burung, burung hantu, kucing, ular dan sebagainya.
Bid’ah ialah melakukan ibadah yang tidak pernah diajarkan dan tidak pernah diamalkan oleh Rasulullah SAW, atau oleh para shahabatnya.
Khurafat ialah mempercayai kisah-kisah yang batil, seperti kisah Nyai Roro Kidul, yang katanya dapat membuat manfaat dan madharat, sehingga harus diberi sesaji, padahal laut adalah mahkluk Allah yang tidak dapat membuat manfaat dan madharat.
Jika masih berbuat syirik, dan tidak beramal shalih, sekalipun membaca tahlil ribuan kali, tidak ada manfaatnya. Maka yang sangat penting sebenarnya ialah bahwa tahlil itu harus benar-benar diyakini dan diamalkan dengan berbuat amal shalih sebanyak-banyaknya.

Maka yang dilarang menurut Muhammadiyah adalah upacaranya yang dikaitkan dengan tujuh hari kematian, atau empat puluh hari atau seratus hari dan sebagainya, sebagaimana dilakukan oleh pemeluk agama Hindu. Apalagi harus mengeluarkan biaya besar, yang kadang-kadang harus pinjam kepada tetangga atau saudaranya, sehingga terkesan tabzir (berbuat mubazir).

Pada masa Rasulullah SAW pun perbuatan semacam itu dilarang. Pernah beberapa orang Muslim yang berasal dari Yahudi, yaitu Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya, minta izin kepada Nabi SAW untuk memperingati dan beribadah pada hari Sabtu, sebagaimana dilakukan mereka ketika masih beragama Yahudi, tetapi Nabi SAW tidak memberikan izin, dan kemudian turunlah ayat:

(يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (البقرة {2}:208

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (al-Baqarah {2}:208)

Menurut kami, yang dimaksud dengan situasi Islami adalah situasi yang sesuai dengan syari’at Islam, dan bersih dari segala macam larangan Allah, termasuk syirik, takhayyul, bid’ah, khurafat, dan lain-lain.

Klik dibawah ini untuk mendapatkan web hosting Gratisan
Web Hosting

BERPACARAN , WANITA, SURGA DAN NERAKA DALAM ISLAM



Pertanyaan:
  1. Bagaimana hukum Islam tentang pacaran?
  2. Bagaimana Islam memandang wanita? (contoh kasus di Afganistan saat Thaliban berkuasa wanita dilarang keluar rumah atau ikut berpolitik atau ikut berolahraga)
  3. Apakah ada dasar dari al­-Qur’an atau Hadits yang menyatakan bahwa umat Islam yang memiliki dosa besar maupun kecil akan mampir dulu ke neraka baru masuk surga?

Jawaban Pertanyaan no. 1:
Tentang Berpacaran

“Pacaran” dalam kamus bahasa Indonesia mempunyai beberapa arti (Purwodarminto,

1976) :
  1. Pergaulan bebas antara laki-­laki dan perempuan, bersuka­-sukaan mencapai apa yang disenangi mereka.
  2. Pacaran berarti “bergendak” yang sama artinya dengan berkencan atau berpasangan untuk berzina.
  3. Pacaran berarti berteman dan saling menjajaki kemungkinan untuk mencari jodoh berupa suami atau istri.
Pacaran menurut arti pertama dan kedua jelas dilarang oleh agama Islam, berdasarkan  nash:

a. Allah berfirman:

artinya :“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (al-isra' :32)

b. Hadits:
Artinya :“Dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw berkhutbah, ia berkata: Jangan sekali­kali seorang laki­laki berkhalwat dengan seorang perempuan kecuali beserta ada mahramnya, dan janganlah seorang perempuan melakukan musafir kecuali  beserta ada mahramnya” (muttafaq alaihi)

Perkawinan merupakan sunnah Rasulullah dengan arti bahwa suatu perbuatan yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah agar kaum muslimin melakukannya. Orang yang anti  perkawinan dicela oleh Rasulullah, berdasarkan hadits: 

Artinya :“Dari Anas ra. Bahwasanya Nabi saw berkata: …tetapi aku, sesungguhnya aku salat, tidur, berbuka dan mengawini perempuan, maka barangsiapa yang benci sunnahku maka ia bukanlah dari golonganku” (HR. Bukhari :4675, HR. Muslim :2487)

Pada umumnya suatu perkawinan terjadi setelah melalui beberapa proses, yaitu proses sebelum terjadi akad nikah, proses akad nikah dan proses setelah terjadi akad nikah. Proses sebelum terjadi akad nikah melalui beberapa tahap, yaitu tahap penjajakan, tahap peminangan dan tahap pertunangan. Tahap penjajakan mungkin dilakukan oleh pihak laki­laki kepada pihak perempuan atau sebaliknya, atau pihak keluarga masing­masing. Rasulullah memerintahkan agar pihak­pihak yang melakukan perkawinan melihat atau mengetahui calon jodoh yang akan dinikahinya, berdasarkan hadits:


Artinya :“Dari Abu Hurairah ra ia berkata: berkata seorang laki­laki sesungguhnya ia telah meminang seorang permpuan Anshar, maka berkata Rasulullah kepadanya: “Apakah engkau telah melihatnya? Laki­l-aki itu menjawab: “Belum”. Berkata Rasulullah: “Pergilah dan perhatikan ia, maka sesungguhnya pada mata perempuan Anshor ada sesuatu” (HR. an­Nasa’i, Ibnu Majah, at­Tirmizi, dan dinyatakannya sebagai hadits hasan)

Rasulullah saw memerintahkan agar kaum muslimin laki­-laki dan perempuan sebelum memutuskan untuk meminang calon jodohnya agar berusaha memilih jodoh yang mungkin berketurunan, sebagaimana dinyatakan pada hadits:

Artinya: “Dari Anas ra. Rasulullah saw memerintahkan (kaum muslimin) agar melakukan perkawinan dan sangat melarang hidup sendirian (membujang). Dan berkata: Kawinilah olehmu wanita yang pencinta dan peranak, maka sesungguhnya aku bermegah­megah dengan banyaknya kamu di hari kiamat”

Dari kedua hadits diatas dipahami bahwa ada masa penjajakan untuk memilih calon suami atau isteri sebelum menetapkan keputusan untuk malakukan peminangan. Penjajakan ini mungkin dilakukan oleh pihak laki­laki atau pihak perempuan atau keluarga mereka. Jika dalam penjajakan ini ada pihak yang diabaikan terutama calon isteri atau calon suami maka yang bersangkutan boleh membatalkan pinangan akan perkawinan tersebut, berdasarkan hadits:

Artinya: “Dari Ibnu Abbas, ra, bahwasanya Rasululah saw bersabda: Orang yang tidak mempunyai jodoh lebih berhak terhadap (perkawinan) dirinya dibanding walinya, dan gadis dimintakan perintah untuk perkawinannya dan (tanda) persetujuannya ialah diamnya” (muttafaq alaih)

Dan hadits:

Artinya :“Dari Ibnu Abbas ra, sesungguhnya jariah seorang gadis datang menghadap rasulullah saw dan menyampaikan bahwa bapaknya telah mengawinkannya dengan seorang laki­-laki, sedang ia tidak menyukainya. Maka Rsulullah saw menyuruhnya untuk memilih (apakah menerima atau tidak)”. (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan ad­Daraquthni) 
 

Masa penjajakan ini dapat disamakan dengan masa pacaran menurut pengertian ketiga di atas. Setelah masa pacaran dilanjutkan dengan masa meminang, jika peminangan diterima maka jarak antara masa peminangan dan masa pelaksanaan akad nikah disebut masa pertunangan. Pada masa pertunangan ini masing­-masing pihak harus menjaga diri mereka masing­-masing karena hukum hubungan mereka sama dengan hubungan orang­orang yang belum terikat dengan akad nikah.

Rasulullah saw memberi tuntunan bagi orang yang dalam masa pacaran atau dalam masa petunangan sebagi berikut:
1.  Pada masa pacaran atau masa pertunangan antara mereka yang bertunangan dan pacaran adalah seperti hubungan orang­orang yang tidak ada hubungan mahram atau belum melaksanakan akad nikah, karena itu mereka harus:
  • Memelihara matanya agar tidak melihat aurat pacar atau tunangannya, begitu pula  wanita atau laki­laki yang lain. Melihat saja dilarang tentu lebih dilarang lagi merabanya.
  • Memelihara kehormatannya atau kemaluannya agar tidak mendekati perbuatan zina.
2. Untuk menjaga ‘a’ dan ‘b’ dianjurkan sering melakukan puasa­puasa sunat, kerena  melakukan puasa itu merupakan perisai baginya. Hal diatas dipahami dari hadits:

Artinya :“Dari Ibnu Mas’ud ra berkata, Rasulullah saw mengatakan kepada kami: Hai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu yang telah sanggup melaksanakan akad nikah, hendaklah melaksanakannya. Maka sesungguhnya melakukan akad nikah itu (dapat) menjaga pandangan dan memlihar farj (kemaluan), dan barangsiapa yang belum sanggup hendaklah ia berpuasa (sunat), maka sesunguhnya puasa itu perisai baginya” (muttafaq alaih)

Jawaban soal kedua
Tentang kedudukan wanita dalam pandangan Islam

Agama Islam memandang kedudukan perempuan sama dengan kedudukan laki­-laki seperti memandang kedudukan manusia pada umumnya, sebagaimana dinyatakan nash-­nash berikut:
1. Perempuan sebagiman manusia pada umumnya diciptakan Allah sebagi makhluk-Nya yang paling baik dibanding makhluk­makhluNya yang lain, Allah berfirman:

Artinya :“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik­baiknya”. (At-Tiin :4)

2. Allah memuliakan menusia. Allah SWT berfirman:

Artinya :“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak­-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-­baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”


3. Allah SWT menjadikan manusia sebagi khalifah di bumi. Allah SWT berfirman:

Artinya:“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”.. 

Allah sebagai Dzat Yang Maha Pencipta lagi Maha Tahu, mengetahui dengan sungguh­-sungguh kekuatan dan kelemahan manusia, sedang manusia sendiri bukanlah makhluk yang paling tahu tentang hakikat, kekuatan dan kelemahan dirinya. Dalam pada itu Allah berkehendak agar manusia tetap dalam keadaannya, ialah sebagai makhluk yang terbaik, sebagi makhluk yang mulia dan sebagi khalifatullah fil ardh. Untuk menutupi kelemahan­kelemahan manusia dalam menjalankan tugasnya, Allah SWT menurunkan petunjuk berupa al­Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dan menjadikan Nabi Muhammad sebagi panutan dan ikutan dalam melaksanakan petunjuk itu.

Sekalipun laki­-laki dan perempuan kedudukannya sama di sisi Allah SWT, namun menurut kodratnya laki­-laki berbeda dengan perempuan. Kerena perbedaan kodrat itu Allah menetapkan petunjuk­-petunjuk yang sama antara kedua jenis itu dan ada pula petunjuk­ petunjuk yang berbeda, sesuai dengan kodratnya, sehingga masing­-masing mereka dapat menjadi makhluk terbaik, makhluk yang mulia dan dapat pula melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah di bumi. Kedua jenis ini harus ada dalam usaha memakmurkan bumi, keduanya harus bahu-membahu, bekerja sama, tidak boleh ada yang kurang dari salah satu dari dua jenis itu.


Seandainya ada perbedaan dalam pelaksanaan syariat Islam pada suatu negara tentang laki­-laki dan wanita, maka hal ini disebabkan perbedaan penafsiran terhadap al­Qur’an dan as­Sunnah, mungkin pula karena pengaruh kepercayaan yang telah berurat berakar pada suatu negara atau karena adat istiadat yang berlaku di negara itu.


Jawaban pertanyaan ketiga,
Tentang ada orang mukmin yang masuk neraka dahulu sebelum masuk ke surga


Hadits-­hadits Nabi saw menerangkan bahwa setiap orang yang beriman kepada Allah dan Rasul­Nya akan masuk surga, sekalipun di antara mereka ada yang masuk surga secara bertahap. Maksudnya ialah ia masuk neraka lebih dahulu sebagai imbalan dari dosa­dosa yang pernah dilakukannya selama hidup di dunia, kemudian setelah habis masa siksaannya itu ia dimasukkan Allah kedalam surga, berdasarkan hadis berikut:



Artinya: “Dari Abu Sa’id al­Khudri ra, dari Nabi saw, ia bersabda: Penghuni surga kan masuk surga dan penghuni neraka akan masuk neraka, kemudian Allah ta’ala memrintahkan: Keluarkan dari neraka orang­orang yang dalam hatinya ada iman seberat biji sawi. Maka dikeluarkanlah mereka dari neraka yang warna (badannya) benar­benar hitam, lalu dimasukkan kedalam sungai hidup atau sungai kehidupan, lalu tumbuhlah mereka seperti biji yang tumbuh setelah air bah, adakah engkau tidak melihatnya, sesungguhnya ia keluar bewarna kuning yang melilit.” (muttafaq alahi)

Dan Hadis:



Artinya : “Dari Abdullah bin Mas’ud ra, berkata: bersabda Nabi saw : Sesungguhnya aku benar­ benar mengetahui penduduk neraka terakhir masuk neraka dan penduduk surga terakhir masuk surga. Seorang laki­laki keluar dari neraka dengan merangkak, maka Allah memerintahkan (kepada orang itu): “Pergilah dan masuklah ke surga!” Laki­-laki itu mendatangi surga itu sambil mengkhayalkan bahwa surga itu telah penuh. Lalu ia kembali dan berkata: “Wahai Tuhan aku dapati surga itu telah penuh.” Allah memerintahkan:
“Pergilah dan masuklah ke surga!” Maka ia mendatanginya sambil mengkhayalkan bahwa surga itu telah penuh. Lalu ia kembali dan berkata: “Wahai Tuhan aku dapati surga itu telah penuh.”
Maka Allah berfirman: “Pergilah dan masuklah ke surga, maka sesungguhnya (surga) itu semisal dunia dan sepuluh kalinya atau sesungguhnya surga itu sepuluh kali dunia.” 
Laki­-laki itu berkata: “Engkau mengejek dan menertawakanku sedangkan Engkau pemilik(nya).” Aku (Ibnu Mas’ud) melihat Rasulullah tertawa hingga tampak gigi gerahamnya. 
Dan pernah pula dikatakan: “Yang demikian itu adalah penduduk surga yang paling rendah tingkatannya.” (muttafaq alahi)

Kedua hadis di atas menjelaskan bahwa ada orang yang beriman yang sebelum masuk surga, ia masuk neraka lebih dahulu, yang lamanya sesuai dengan berat atau ringannya dosa yang telah diperbuatnya selama hidup di dunia. Banyak hadis yang lain yang senada dan sama artinya dengan hadis diatas. (baca al­Lu’lu’ wal Marjan, hadits no. 118, 119, 120 dan sebagainya)



Klik dibawah ini untuk mendapatkan web hosting Gratisan
Web Hosting

MENGANGKAT TANGAN KETIKA BERDOA

Pertanyaan Dari:
Yoeny Wahyu Hidayatie, SE., KTAM 853174,
Nasyi’ah di Harjo Barat Tersono Batang
(disidangkan pada Jum’at, 8 Shaffar 1429 H / 15 Februari 2008 M)


Pertanyaan:
Assalamu 'alaikum Wr. Wb. Menurut Paham Muhammadiyah di daerah saya, bahwa dalam berdoa tidak dianjurkan mengangkat tangan. Ketika berada di daerah lain, teman­teman saya banyak yang mengangkat tangan ketika berdoa, dan ketika saya membaca majalah lain (Suara Muhammadiyah) justru menganjurkannya. Pertanyaan saya adalah bagaimana sebenarnya tentang mengangkat tangan ketika berdoa menurut Muhammadiyah?


Jawaban:
Untuk menjawab pertanyaan saudara, perlu kami sampaikan bahwa Muhammadiyah telah menyusun buku Tuntunan Dzikir dan Doa menurut Putusan Tarjih Muhammadiyah yang diterbitkan oleh Penerbit Suara Muhammadiyah. Tuntunan Dzikir dan Doa tersebut merupakan keputusan Muhammadiyah dalam Musyawarah Tarjih ke­25 di Jakarta tahun 2000. Dengan adanya keputusan tersebut yang diwujudkan dalam sebuah buku diharapkan buku tersebut menjadi pedoman dan tuntunan dalam berdzikir dan berdoa bagi warga Muhammadiyah dan orang­orang yang sepaham dengan Muhammadiyah. Dalam buku tersebut dijelaskan tentang apa yang saudara tanyakan yang terletak dalam bagian "Adab Berdoa". Menurut Muhammadiyah bahwa dalam berdoa ada empat adab yang perlu diperhatikan, yaitu;


1. Memulai berdoa dengan memuji Allah dan bershalawat atas Nabi Muhammad saw. Hal ini didasarkan pada riwayat Fudhalah bin Ubaid. Rasulullah saw bersabda:

Artinya: “Apabila salah seorang di antaramu berdoa, hendaklah ia memulai dengan mengagungkan dan memuji Tuhan yang Maha Agung dan Maha Perkasa, kemudian bershalawat untuk Nabi saw, setelah itu berdoa dengan doa yang dikehendaki.” [HR. at­Tirmidzi]

2. Dalam berdoa hendaklah dengan merendahkan diri dan dengan suara perlahan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam al­Qur'an surat al­A'raf (7): 55:
Artinya: “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang­orang yang melampaui batas".


3. Ketika akan mengakhiri doa hendaklah menutup dengan hamdalah. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam al­Qur'an surat Yunus (10): 10:

Artinya: “... dan penutup doa mereka adalah “al­hamdulillahi Rabbil­‘aalamiin”.

4. Ketika berdoa dianjurkan dengan mengangkat tangan. Anjuran ini didasarkan pada hadits berikut ini:

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abu Bisyrin Bakar bin Khalafin, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Adiyyi dari Ja'far ibnu Maimun dari Abu Utsman ra dari Salman dari Nabi saw beliau bersabda: Sesungguhnya Tuhanmu adalah "sangat malu" lagi Maha Pemurah, Dia merasa malu kepada hamba­Nya yang menengadahkan kedua tangannya kepada­Nya, kemudian ditolak­Nya sama sekali atau sia­sia." [HR. Ibnu Majah dan at­Tirmidzi]

Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Kitab ad­Du'a, Bab Raf'u al­Yadain fi ad­Du'a dan diriwayatkan pula oleh at­Tirmidzi dalam Kitab ad­ Da'awaat 'an Rasulillah, Bab fi Du'a an­Naby. Imam al­Hafidz Abil Ali Muhammad Abdurrahman bin Abdur Rahim al­Kafury dalam kitab Tuhfah al­Ahwadzi bi Syarh Jami' at­ Tirmidzi menjelaskan bahwa hadits tersebut menunjukkan dianjurkannya mengangat tangan ketika berdo'a, dan hadits yang menunjukkan hal tersebut jumlahnya cukup banyak. Adapun permasalahan yang saudara tanyakan juga telah dijawab oleh Tim Fatwa pada tahun 2003, dan untuk lebih jelasnya kami akan kutipkan ringkasan dari jawaban permasalahan sebagai berikut;

1. Hadits­-hadits yang menjelaskan bahwa Nabi saw mengangkat tangan ketika berdoa baik ketika melaksanakan haji atau lainnya, di antaranya:

Artinya: “Diceritakan dari Salim bin ‘Abdillah; bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar ra, melempar jamrah yang dekat (pertama) dengan tujuh kerikil sambil bertakbir pada akhir setiap lemparan kerikil, lalu maju di tempat yang datar dan berdiri lama dengan menghadap ke qiblat, lalu berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya , lalu melempar jamrah wustha (tengah) sebagaimana (melempar jamrah pertama), lalu mengambil arah kiri di tempat yang datar dan berdiri lama dengan menghadap qiblat, lalu berdo’a dengan mengangkat kedua tangannya, lalu melempar jamrah ‘aqabah (yang terakhir) dari arah lembah dan tidak berhenti, dan berkatalah ‘Abdullah Ibnu ‘Umar: ‘Demikianlah saya melihat Rasulullah mengerjakannya’.” [Diriwayatkan oleh Al­Bukhariy, Kitab al­Hajj, bab mengangkat kedua tangan, I:198]

Hadits-­hadits yang menjelaskan bahwa Nabi mengangkat kedua tangannya ketika berdoa jumlahnya cukup banyak seperti dalam kitab Shahih al­Bukhari, Kitab al­ Jum'ah, Bab Raf'ul­Yadain, Shahih al­Bukhari, kitab al­Hajj, Jilid 1 hal. 198, kitab Shahih Muslim Kitab shalat al­Istisqa, kitab Manasik al­Hajj dan kitab Sunan at Tirmidzi.

2. Hadits­hadits yang menerangkan bahwa Nabi berdoa tidak mengangkat tangan, di antaranya;

Artinya: “Diceritakan kepada kami oleh Muhammad bin al­Musanna, diceritakan kepada kami oleh Ibnu Abi ‘Adiy dan ‘Abdul A’la dari Sa’id, dari Qatadah, dari Anas, bahwa Nabi saw tidak mengangkat kedua tangannya sedikitpun ketia berdoa, kecuali dalam istisqa’ (mohon air hujan) hingga terlihat putihnya kedua ketiaknya.” [Diriwayatkan oleh Muslim, kitab Shalat al­Istisqa,No 5/895]

Dari kedua hadits tersebut, di kalangan ulama ada dua pendapat, pertama ­ Jumhur Ulama ­ menyatakan bahwa Nabi saw mengangkat kedua tangannya ketika berdoa, dan Kedua, ­ sebagian ulama lagi ­ menyatakan bahwa Nabi saw tidak pernah mengangkat kedua tangannya, kecuali hanya pada waktu istisqa saja. Dan kedua dalil tersebut tampak adanya ta’arud (pertentangan). Karena pada dalil-­dalil tersebut tampak adanya ta’arud, maka untuk mengambil keputusan perlu menggunakan metode al­jam’u wa at­taufiq (mengumpulkan dan mengkompromikan) antara kedua dalil yang tampak bertentangan.

Al­Qasthalaniy ketika mensyarah hadits al­Bukhariy tentang mengangkat kedua tangan ketika berdoa, mengatakan bahwa mengangkat kedua tangan adalah sunnah, berdasarkan hadits­hadits tersebut. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Anas, yang menyatakan bahwa Nabi saw tidak pernah mengangkat kedua tangannya sedikit pun ketika berdoa, kecuali pada waktu istisqa’ (mohon hujan), dia menjelaskan bahwa yang  ditiadakan ialah sifat khusus, yaitu al­mubalaghah fi ar­raf’i (melebihkan dalam mengangkat kedua tangan), bukan mengangkat tangan pada umumnya. Artinya, bahwa Nabi saw ketika berdoa juga mengangkat tangan, tetapi tidak setinggi ketika berdoa dalam istisqa’. (al­Qasthalaniy, Syarh al­Bukhariy, IV:68).

As­Shan’aniy, dalam kitabnya Subulus­Salam menjelaskan; bahwa hadits-­hadits tentang mengangkat tangan, menunjukkan bahwa mengangkat kedua tangan ketika berdoa adalah mustahabb, dan hadits-­hadits yang memerintahkan agar mengangkat kedua tangan ketika berdoa jumlahnya cukup banyak. Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Anas, yang menyatakan bahwa Nabi saw tidak pernah mengangkat kedua tangannyaketika berdoa, kecuali hanya ketika dalam istisqa’, dia menjelaskan bahwa yang dimaksudkannya ialah al­mubalaghah fi ar­raf’i (melebihkan dalam mengangkat kedua tangan), yaitu mengangkat kedua tangannya dengan amat tinggi, dan yang demikian itu tidaklah terjadi kecuali ketika berdoa dalam istisqa’. Dengan demikian, maka jelaslah bahwa dua kelompok hadits tersebut tidaklah bertentangan (ta’arud), sebab kedua kelompok hadits tersebut masih dapat ditaufiqkan (dikompromikan).

Kesimpulan :

Mengangkat kedua tangan ketika berdoa adalah sunnah atau mustahabb, dan tidak perlu mengangkat tinggi­tinggi, kecuali pada waktu berdoa istisqa’. Adapun maksud dari hadits Anas yang menunjukkan bahwa Nabi saw ketika berdoa tidak mengangkat kedua tanganya kecuali dalam shalat istisqa’ adalah tidak berlebih­lebihan dalam mengangkat tangan. Dengan demikian jelaslah bahwa dalam berdoa kita dianjurkan untuk mengangkat tangan yang tidak berlebih­-lebihan. Wallahu a'lam bish­shawab.

Klik dibawah ini untuk mendapatkan web hosting Gratisan
Web Hosting

KEMBALI KE ATAS