HUKUM PERINGATAN ISRA' MI'RAJ DAN YASINAN
Eko Yuni Priswanto, ekopris@plasa.com.
Pertanyaan:
1. Apakah memperingati Isra’ Mi’raj termasuk bid’ah walaupun dikemas dalam bentuk pengajian?
2. Apakah mengadakan kegiatan Yasinan atau membaca Yasin bersamasama tiap malam Jum’at dibolehkan?
Jawaban:
1. Mengenai masalah bid’ah ini pernah dijelaskan dan dimuat dalam majalah SuaraMuhammadiyah No. 11 Th. ke87 Juni 2002, No. 11 Th. ke88 Juni 2003, dan No. 22 Th. ke88 November 2003, namun akan kami tambah penjelasannya sebagai berikut.
Bid’ah ialah sesuatu perbuatan atau perkataan yang dipandang sebagai ‘umurut ta’abbudiy yang baru dan tidak pernah diperintahkan dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw semasa hidupnya. Dengan kata lain bahwa bid’ah adalah perbuatan yang ada konotasinya dengan ‘umurutta’abbudiy, tidak ada konotasinya dengan ‘umuru ghairut ta’abbudiy. Semua ‘umurutta’abbudiy di dasarkan kepada nash-nash yang shahih dan maqbul, dijelaskan macam-macamnya dan cara-cara mengerjakannya. Seperti ibadah shalat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya. Sebagai contoh adalah sabda Nabi Muhammad saw:
Artinya: “Dari Malik bin Huwairits (diriwayatkan bahwa) Nabi Muhammad saw bersabda: Shalatlah kamu sebagaimana engkau melihatku shalat.” (HR. al -Bukhari)
Berdasarkan perintah itu, kita pelajari dan cari pada nashnash yang shahih dan maqbul bagaimana tatacara mengerjakan shalat, waktuwaktunya, apa yang dibaca pada setiap gerakannya, macammacamnya baik yang wajib maupun yang sunat, dan sebagainya.
Demikian pula halnya dengan ibadah puasa, zakat, haji, dan sebagainya, kita wajib mengikuti tatacaranya, waktuwaktunya, dan aturanaturan yang lainnya, sebagaimana yang telah dituntunkan oleh Nabi Muhammad saw. Bagi orang yang menetapkan caracara melakukan, waktu-waktu mengerjakan, bacaanbacaan yang dibaca dalam mengerjakan ‘umurutta’abbudiy, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya, dan mengatakan bahwa itu adalah perintah Allah dan RasulNya, padahal tidak ada dasarnya atau dasarnya diragukan kebenarannya, berarti ia telah berdusta terhadap Nabi Muhammad saw dan kaum muslimin. Orangorang yang mengadaadakan sesuatu tentang Nabi saw padahal tidak ada dasarnya berarti ia telah menyediakan tempat duduknya di neraka nanti. Hal ini berdasarkan pada hadits:
Artinya: “Dari Ali r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Nabi Muhammad saw bersabda: jangan kamu berdusta atas (nama)ku, barangsiapa yang berdusta atas nama(ku), tentulah ia masuk ke dalam neraka.” (Muttafaq Alaih)
Dan hadits:
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata, dari Nabi saw beliau bersabda: Barangsiapa yang mengadaadakan kedustaan atasku, maka berarti telah menyediakan tempat duduknya dalam neraka.” (Muttafaq Alaih)
Yang dimaksud dengan kalimat man kadzdzaba ‘alaiyya ialah seseorang yang mengatakan sesuatu adalah ‘umurutta’abbudiy dan berasal atau berdasarkan perkataan, perbuatan, atau taqrir Nabi saw, padahal yang sebenarnya Rasulullah saw tidak pernah mengatakan, melakukan, atau tidak ada taqrir beliau. Urusan seperti ini adalah semacam bid’ah dan diancam oleh Rasulullah saw dengan adzab neraka, karena mereka telah berdusta kepada Allah dan RasulNya serta kaum muslimin.
Akan lebih besar lagi dosanya, jika kedustaan mereka diamalkan oleh kaum muslimin yang tidak tahu sama sekali tentang hal tersebut. Adapun mengenai ‘umuru ghairutta’abbudiy, boleh dilakukan sekalipun Nabi saw tidak pernah mengerjakannya, dengan syarat tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Sehubungan dengan hal kegiatan Isra’ dan Mi’raj, ialah termasuk kegiatan yang dilakukan umat Islam setelah Rasulullah saw meninggal dunia, dengan arti bahwa pada zaman Rasulullah saw belum ada kegiatan tersebut. Peringatan itu dilakukan oleh kaum muslimin, di samping untuk mensyiarkan agama Islam juga untuk memperingati turunnya kepada Rasulullah perintah melakukan shalat wajib lima waktu. Dengan peringatan itu diharapkan dapat memperkuat tekad umat Islam untuk tetap mengerjakan shalat lima waktu dengan sebaikbaiknya. Kegiatan ini termasuk ‘umuru ghairutta’abbudiy, bukan ibadah yang langsung ditujukan kepada Allah SWT, karena itu boleh dilakukan. Bahkan dipandang sebagai sebagai suatu ibadah kepada Allah SWT, jika kegiatan itu menambah syiar agama Islam dan tidak bertentangan dengan prinsipprinsip agama Islam.
2. Kami belum menemukan nash-nash yang shahih dan maqbul yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum tentang membaca Yasin bersamasama yang diadakan pada malam Jum’at, demikian pula dasar bahwa hal itu pernah diperintahkan Allah atau pernah diperintahkan Rasulullah mengerjakannya atau beliau sendiri pernah mengerjakannya. Juga belum ditemukan dasar bahwa di antara sahabat sendiri pernah melakukannya dan Rasulullah mengetahui perbuatan sahabat itu. Yang ada ialah perintah Allah SWT agar kaum muslimin membaca alQur’an dan bagi yang mendengarkan bacaan itu diperintahkan Allah SWT agar mendengarkan bacaan itu dengan baik dan berdiam diri. Tidak ditentukan surat dan ayat yang lebih baik dibaca, kapan harus dibaca, dan tidak ditentukan pula hari dan jamnya. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Dan apabila dibacakan alQur'an, maka dengarkanlah baikbaik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. alA’raf, 7: 204)
Pada ayat yang lain Allah SWT menerangkan cara membaca alQur’an dan kapan saatsaat yang terbaik membacanya. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Qur'an itu dengan perlahanlahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak).” (QS. al Muzzammil, 73: 17)
Dari ayat di atas, dapat difahami beberapa hal sebagai berikut:
a. Membaca alQur’an yang paling baik itu setelah lewat tengah malam, karena pada waktu itu keadaan telah sepi, orang sedang tidur nyenyak, sehingga dapat membacanya dengan khusyu’. Ayatayat di atas tidak menentukan ayat mana yang paling baik dibaca.
b. Hendaklah membaca al-Qur’an dengan tartil, maksudnya ialah membaca dengan perlahan-lahan, diusahakan dengan bacaan lafadz yang benar dan fasih sesuai dengan kemampuan si pembaca, diresapkan arti ayatayat yang dibaca, dan berjanji akan melaksanakan yang diperintah dan menghentikan yang dilarang oleh ayatayat tersebut. Tentu saja hal ini dilakukan sesuai dengan kemampuan dan tingkat pengetahuan si pembaca. Dalam pada itu si pembaca pun harus berusaha meningkatkan kemampuan membaca dan memahami bacaannya. Dari kata tartil ini juga dapat difahami bahwa tidak baik membaca alQur’an dengan cepat asal cepat tamat (khatam) tanpa ada usaha untuk memahami isinya. Hal ini dapat juga difahami dari hadits berikut:
Artinya: “Dari Abu Wa’il (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Seseorang telah datang kepada ibnu Mas’ud lalu berkata: Tadi malam aku telah membaca surat-surat pendek (almufashshal) dalam satu rakaat. Ibnu Mas’ud berkata: (Bacaan) ini (cepat) seolah-olah (membaca alQur’an) adalah membaca sya’ir?
Sesungguhnya aku telah mengetahui padanan ayat yang biasa dibaca oleh Nabi saw, lalu menyebut dua puluh surat yang termasuk surat almufashshal, tiap rakaat (dibaca) dua surat.” (Muttafaq Alaih)
c. Membaca alQur’an hendaklah dengan penuh perhatian dan memikirkan maksud ayat yang dibaca, tidak asal baca. Allah SWT berfirman:
Artinya : “Maka apakah mereka tidak mentadabburkan (memperhatikan) Al Qur'an?” (QS. anNisa’, 4: 82)
Tadabbur berarti membaca dengan penuh perhatian, menggali isi ayat yang dibaca serta melaksanakan apa yang dibaca. Tadabbur dapat dilakukan sendirian atau bersama dalam suatu diskusi, seminar, dan sebagainya. Dari ayat di atas juga dapat difahami adanya ancaman dan peringatan keras kepada orang yang tidak mentadabburkan alQur’an. Pada hadits lain dinyatakan:
Artinya: “Dari Abu Musa r.a., dari Nabi saw (diriwayatkan bahwa) beliau bersabda: Pelajari dan hafalkanlah alQur’an dengan tekun. Demi Allah yang jiwaku berada dalam kekuasaannya, alQur’an itu lebih cepat lepasnya (dari seseorang) dibanding dengan cepatnya lepas unta dari tali pengikatnya.” (Muttafaq Alaih)
Hadits di atas memperingatkan kepada kaum muslimin agar selalu mempelajari dan mengamalkan ajaran alQur’an, karena kalau tidak diamalkan seseorang akan mudah lupa terhadap ajaran tersebut. Dari keterangan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa membaca surat Yasin bersamasama pada malam Jum’at bukan sunnah Rasulullah saw dan tidak ditemukan nashnash yang shahih dan maqbul yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukumnya. Yang ada dasar hukumnya ialah perintah membaca al Qur’an dengan tartil, mentadabburkan al-Qur’an, baik sekali membaca alQur’an lewat tengah malam. Bila tidak demikian, maka alQur’an itu mudah hilang dalam ingatan orang yang kurang memperhatikan ajarannya.
Pertanyaan:
1. Apakah memperingati Isra’ Mi’raj termasuk bid’ah walaupun dikemas dalam bentuk pengajian?
2. Apakah mengadakan kegiatan Yasinan atau membaca Yasin bersamasama tiap malam Jum’at dibolehkan?
Jawaban:
1. Mengenai masalah bid’ah ini pernah dijelaskan dan dimuat dalam majalah SuaraMuhammadiyah No. 11 Th. ke87 Juni 2002, No. 11 Th. ke88 Juni 2003, dan No. 22 Th. ke88 November 2003, namun akan kami tambah penjelasannya sebagai berikut.
Bid’ah ialah sesuatu perbuatan atau perkataan yang dipandang sebagai ‘umurut ta’abbudiy yang baru dan tidak pernah diperintahkan dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw semasa hidupnya. Dengan kata lain bahwa bid’ah adalah perbuatan yang ada konotasinya dengan ‘umurutta’abbudiy, tidak ada konotasinya dengan ‘umuru ghairut ta’abbudiy. Semua ‘umurutta’abbudiy di dasarkan kepada nash-nash yang shahih dan maqbul, dijelaskan macam-macamnya dan cara-cara mengerjakannya. Seperti ibadah shalat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya. Sebagai contoh adalah sabda Nabi Muhammad saw:
Artinya: “Dari Malik bin Huwairits (diriwayatkan bahwa) Nabi Muhammad saw bersabda: Shalatlah kamu sebagaimana engkau melihatku shalat.” (HR. al -Bukhari)
Berdasarkan perintah itu, kita pelajari dan cari pada nashnash yang shahih dan maqbul bagaimana tatacara mengerjakan shalat, waktuwaktunya, apa yang dibaca pada setiap gerakannya, macammacamnya baik yang wajib maupun yang sunat, dan sebagainya.
Demikian pula halnya dengan ibadah puasa, zakat, haji, dan sebagainya, kita wajib mengikuti tatacaranya, waktuwaktunya, dan aturanaturan yang lainnya, sebagaimana yang telah dituntunkan oleh Nabi Muhammad saw. Bagi orang yang menetapkan caracara melakukan, waktu-waktu mengerjakan, bacaanbacaan yang dibaca dalam mengerjakan ‘umurutta’abbudiy, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya, dan mengatakan bahwa itu adalah perintah Allah dan RasulNya, padahal tidak ada dasarnya atau dasarnya diragukan kebenarannya, berarti ia telah berdusta terhadap Nabi Muhammad saw dan kaum muslimin. Orangorang yang mengadaadakan sesuatu tentang Nabi saw padahal tidak ada dasarnya berarti ia telah menyediakan tempat duduknya di neraka nanti. Hal ini berdasarkan pada hadits:
Artinya: “Dari Ali r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Nabi Muhammad saw bersabda: jangan kamu berdusta atas (nama)ku, barangsiapa yang berdusta atas nama(ku), tentulah ia masuk ke dalam neraka.” (Muttafaq Alaih)
Dan hadits:
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata, dari Nabi saw beliau bersabda: Barangsiapa yang mengadaadakan kedustaan atasku, maka berarti telah menyediakan tempat duduknya dalam neraka.” (Muttafaq Alaih)
Yang dimaksud dengan kalimat man kadzdzaba ‘alaiyya ialah seseorang yang mengatakan sesuatu adalah ‘umurutta’abbudiy dan berasal atau berdasarkan perkataan, perbuatan, atau taqrir Nabi saw, padahal yang sebenarnya Rasulullah saw tidak pernah mengatakan, melakukan, atau tidak ada taqrir beliau. Urusan seperti ini adalah semacam bid’ah dan diancam oleh Rasulullah saw dengan adzab neraka, karena mereka telah berdusta kepada Allah dan RasulNya serta kaum muslimin.
Akan lebih besar lagi dosanya, jika kedustaan mereka diamalkan oleh kaum muslimin yang tidak tahu sama sekali tentang hal tersebut. Adapun mengenai ‘umuru ghairutta’abbudiy, boleh dilakukan sekalipun Nabi saw tidak pernah mengerjakannya, dengan syarat tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Sehubungan dengan hal kegiatan Isra’ dan Mi’raj, ialah termasuk kegiatan yang dilakukan umat Islam setelah Rasulullah saw meninggal dunia, dengan arti bahwa pada zaman Rasulullah saw belum ada kegiatan tersebut. Peringatan itu dilakukan oleh kaum muslimin, di samping untuk mensyiarkan agama Islam juga untuk memperingati turunnya kepada Rasulullah perintah melakukan shalat wajib lima waktu. Dengan peringatan itu diharapkan dapat memperkuat tekad umat Islam untuk tetap mengerjakan shalat lima waktu dengan sebaikbaiknya. Kegiatan ini termasuk ‘umuru ghairutta’abbudiy, bukan ibadah yang langsung ditujukan kepada Allah SWT, karena itu boleh dilakukan. Bahkan dipandang sebagai sebagai suatu ibadah kepada Allah SWT, jika kegiatan itu menambah syiar agama Islam dan tidak bertentangan dengan prinsipprinsip agama Islam.
2. Kami belum menemukan nash-nash yang shahih dan maqbul yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum tentang membaca Yasin bersamasama yang diadakan pada malam Jum’at, demikian pula dasar bahwa hal itu pernah diperintahkan Allah atau pernah diperintahkan Rasulullah mengerjakannya atau beliau sendiri pernah mengerjakannya. Juga belum ditemukan dasar bahwa di antara sahabat sendiri pernah melakukannya dan Rasulullah mengetahui perbuatan sahabat itu. Yang ada ialah perintah Allah SWT agar kaum muslimin membaca alQur’an dan bagi yang mendengarkan bacaan itu diperintahkan Allah SWT agar mendengarkan bacaan itu dengan baik dan berdiam diri. Tidak ditentukan surat dan ayat yang lebih baik dibaca, kapan harus dibaca, dan tidak ditentukan pula hari dan jamnya. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Dan apabila dibacakan alQur'an, maka dengarkanlah baikbaik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. alA’raf, 7: 204)
Pada ayat yang lain Allah SWT menerangkan cara membaca alQur’an dan kapan saatsaat yang terbaik membacanya. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Qur'an itu dengan perlahanlahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak).” (QS. al Muzzammil, 73: 17)
Dari ayat di atas, dapat difahami beberapa hal sebagai berikut:
a. Membaca alQur’an yang paling baik itu setelah lewat tengah malam, karena pada waktu itu keadaan telah sepi, orang sedang tidur nyenyak, sehingga dapat membacanya dengan khusyu’. Ayatayat di atas tidak menentukan ayat mana yang paling baik dibaca.
b. Hendaklah membaca al-Qur’an dengan tartil, maksudnya ialah membaca dengan perlahan-lahan, diusahakan dengan bacaan lafadz yang benar dan fasih sesuai dengan kemampuan si pembaca, diresapkan arti ayatayat yang dibaca, dan berjanji akan melaksanakan yang diperintah dan menghentikan yang dilarang oleh ayatayat tersebut. Tentu saja hal ini dilakukan sesuai dengan kemampuan dan tingkat pengetahuan si pembaca. Dalam pada itu si pembaca pun harus berusaha meningkatkan kemampuan membaca dan memahami bacaannya. Dari kata tartil ini juga dapat difahami bahwa tidak baik membaca alQur’an dengan cepat asal cepat tamat (khatam) tanpa ada usaha untuk memahami isinya. Hal ini dapat juga difahami dari hadits berikut:
Artinya: “Dari Abu Wa’il (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Seseorang telah datang kepada ibnu Mas’ud lalu berkata: Tadi malam aku telah membaca surat-surat pendek (almufashshal) dalam satu rakaat. Ibnu Mas’ud berkata: (Bacaan) ini (cepat) seolah-olah (membaca alQur’an) adalah membaca sya’ir?
Sesungguhnya aku telah mengetahui padanan ayat yang biasa dibaca oleh Nabi saw, lalu menyebut dua puluh surat yang termasuk surat almufashshal, tiap rakaat (dibaca) dua surat.” (Muttafaq Alaih)
c. Membaca alQur’an hendaklah dengan penuh perhatian dan memikirkan maksud ayat yang dibaca, tidak asal baca. Allah SWT berfirman:
Artinya : “Maka apakah mereka tidak mentadabburkan (memperhatikan) Al Qur'an?” (QS. anNisa’, 4: 82)
Tadabbur berarti membaca dengan penuh perhatian, menggali isi ayat yang dibaca serta melaksanakan apa yang dibaca. Tadabbur dapat dilakukan sendirian atau bersama dalam suatu diskusi, seminar, dan sebagainya. Dari ayat di atas juga dapat difahami adanya ancaman dan peringatan keras kepada orang yang tidak mentadabburkan alQur’an. Pada hadits lain dinyatakan:
Artinya: “Dari Abu Musa r.a., dari Nabi saw (diriwayatkan bahwa) beliau bersabda: Pelajari dan hafalkanlah alQur’an dengan tekun. Demi Allah yang jiwaku berada dalam kekuasaannya, alQur’an itu lebih cepat lepasnya (dari seseorang) dibanding dengan cepatnya lepas unta dari tali pengikatnya.” (Muttafaq Alaih)
Hadits di atas memperingatkan kepada kaum muslimin agar selalu mempelajari dan mengamalkan ajaran alQur’an, karena kalau tidak diamalkan seseorang akan mudah lupa terhadap ajaran tersebut. Dari keterangan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa membaca surat Yasin bersamasama pada malam Jum’at bukan sunnah Rasulullah saw dan tidak ditemukan nashnash yang shahih dan maqbul yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukumnya. Yang ada dasar hukumnya ialah perintah membaca al Qur’an dengan tartil, mentadabburkan al-Qur’an, baik sekali membaca alQur’an lewat tengah malam. Bila tidak demikian, maka alQur’an itu mudah hilang dalam ingatan orang yang kurang memperhatikan ajarannya.
